Inflasi: Luka Sunyi Masyarakat Kecil

Penulis: Abd. Maliki, S.E.

STAF BIMAS KEMENAG KAB. BELTIM

 

Setiap bulan, rilis angka inflasi menjadi sorotan para ekonom, pengamat pasar, dan pembuat kebijakan. Namun, bagi masyarakat kecil, inflasi bukan sekadar angka yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), melainkan kenyataan pahit yang langsung dirasakan di meja makan. Inflasi adalah luka sunyi: ia tidak selalu terdengar riuh dalam berita utama, tetapi nyata menggerogoti daya beli rakyat kecil dari hari ke hari.

Mari kita lihat data. BPS mencatat inflasi tahunan Indonesia pada Agustus 2024 berada di angka 2,95 persen (yoy). Sekilas, angka ini masih dalam rentang target inflasi Bank Indonesia, yaitu 2,5 ± 1 persen. Namun, di balik stabilitas angka makro tersebut, terdapat fakta yang tak kalah penting: komoditas pangan bergejolak (volatile food) seperti cabai merah, bawang merah, dan beras menyumbang tekanan terbesar bagi inflasi. Artinya, yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat kecil yang pengeluaran bulanannya didominasi kebutuhan pangan.

Kita bisa bertanya: apakah “stabilitas” inflasi di mata pemerintah benar-benar berarti stabil bagi rakyat kecil? Di pasar tradisional, ibu rumah tangga mengeluh karena harga cabai bisa naik 50 persen hanya dalam beberapa minggu. Buruh harian yang pendapatannya pas-pasan harus mengurangi belanja lauk. Nelayan dan petani pun sering menjadi korban ketika biaya produksi naik, sementara harga jual hasil panen tak berbanding lurus. Inilah paradoks inflasi: terkendali di kertas laporan, tetapi tidak terkendali di dapur rakyat kecil.

Perspektif ekonomi Islam memberi cara pandang berbeda dalam menilai inflasi. Islam menekankan prinsip al-‘adl (keadilan) dan al-ihsan (kebajikan). Keadilan berarti harga barang tidak boleh dipermainkan oleh segelintir pihak. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa menimbun makanan selama empat puluh malam, maka ia telah berlepas diri dari Allah, dan Allah pun berlepas diri darinya.” (HR. Ahmad dan Hakim). Hadis ini menegaskan larangan penimbunan (ihtikar), karena praktik itu menaikkan harga secara tidak wajar dan menyulitkan kaum miskin.

Lebih jauh, Al-Qur’an mengingatkan pentingnya keadilan distribusi: “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (QS. Al-An’am: 152). Ayat ini menekankan integritas dalam perdagangan, termasuk mencegah manipulasi harga. Dengan kata lain, inflasi tidak boleh dibiarkan menjadi hasil rekayasa pihak tertentu demi keuntungan sesaat.

Dari sisi maqasid syariah, inflasi yang tinggi bisa mengancam hifz al-mal (perlindungan harta) dan hifz al-nafs (perlindungan jiwa). Daya beli yang menurun membuat rakyat kecil kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, bahkan dapat mengancam gizi dan kesehatan keluarga. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi harus berpihak pada mereka yang paling rentan, bukan hanya pada kepentingan stabilitas pasar.

Solusi dalam perspektif ekonomi Islam tidak berhenti pada pengendalian angka. Inflasi harus diatasi dengan memperkuat sektor riil, mendukung produksi pangan lokal, serta memastikan distribusi barang berjalan adil dan transparan. Negara perlu memberdayakan petani dan nelayan agar tidak terjerat tengkulak. Mekanisme zakat, infak, dan wakaf produktif juga bisa menjadi instrumen ekonomi Islam untuk mengurangi beban masyarakat ketika harga-harga naik. Dengan demikian, stabilitas tidak hanya dirasakan oleh elite ekonomi, tetapi juga oleh masyarakat lapisan bawah.

Masyarakat memang belajar berhemat, tetapi negara tidak boleh sekadar menyarankan rakyat “menyesuaikan diri.” Dalam pandangan Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab sebagai ra’in (penggembala) yang wajib melindungi umatnya. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari-Muslim). Maka, mengendalikan inflasi bukan sekadar tugas teknis Bank Indonesia atau Kementerian Keuangan, melainkan amanah moral dan spiritual seorang pemimpin untuk memastikan kesejahteraan rakyat.

Inflasi, sekali lagi, adalah alarm. Ia mengingatkan kita bahwa ekonomi sejati tidak hanya dilihat dari stabilitas angka makro, melainkan dari sejauh mana kesejahteraan benar-benar dirasakan oleh rakyat kecil. Dalam pandangan ekonomi Islam, kesejahteraan bukanlah privilese segelintir orang, melainkan hak semua manusia. Inflasi harus dijawab bukan dengan angka semata, tetapi dengan keadilan, distribusi yang merata, dan kebijakan yang berpihak pada yang lemah. Dengan begitu, luka sunyi masyarakat kecil bisa perlahan disembuhkan, sejalan dengan nilai rahmatan lil ‘alamin yang diajarkan Islam.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Kantor Kementerian Agama Kabupaten Belitung Timur

Komplek Perkantoran Terpadu Manggarawan
Jl. Raya Manggar Gantung - Belitung Timur

© Kantor Kementerian Agama Kabupaten Belitung Timur - 2025 All Rights Reserved.