Jalan Raya Manggar Gantung – Komplek Perkantoran Terpadu Manggarawan

Telpon (0719) – 9220077 | Email : kabbelitungtimur@kemenag.go.id

Ketika Rumah Tangga Jadi “Medan Gugatan”: Antara Suci Agama dan Tegasnya Negara

Oleh Abd. Maliki

Staf Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Belitung Timur

“Cinta itu mudah, yang sulit adalah setia pada janji setelah cinta diucap di hadapan Tuhan dan negara.”

Beberapa tahun terakhir, ruang sidang Pengadilan Agama seolah menjadi cermin retak bagi wajah keluarga Indonesia. Di balik angka-angka statistik yang kaku, tersimpan kisah getir tentang janji yang patah. Data dari Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung mencatat bahwa setiap tahun, lebih dari 400 ribu pasangan di Indonesia resmi bercerai. Bahkan di sejumlah daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara, lonjakan perkara perceraian meningkat tajam pascapandemi seakan badai ekonomi dan media sosial menjadi katalis yang menguji kesetiaan rumah tangga.

Namun, di luar angka dan kasus, ada satu pertanyaan yang menggantung: mengapa ikatan yang disatukan atas nama Tuhan, bisa tercerai atas nama hukum negara?

Antara Suci Agama dan Tegasnya Negara

Dalam pandangan agama, pernikahan bukan sekadar akad sosial, melainkan ibadah dan perjanjian yang sakral. Islam, misalnya, memandang pernikahan sebagai mitsaqan ghalizha, ikatan kuat yang melibatkan ridha Ilahi. Perceraian (thalak) memang diizinkan, tetapi jelas diperingatkan sebagai perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah. Artinya, perceraian bukan solusi utama, melainkan jalan terakhir setelah semua pintu musyawarah tertutup.

Sebaliknya, dalam sistem hukum negara, perceraian diatur dengan ketentuan yang ketat agar tak menjadi ajang emosi sesaat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa “perkawinan hanya dapat diputus oleh pengadilan setelah pengadilan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.” Dalam hukum, perceraian sah hanya setelah ada putusan hakim. Di sinilah letak keseimbangan unik antara “suci” dan “tegas”: agama menekankan moralitas, negara menegakkan legalitas.

Sayangnya, dalam praktik, keseimbangan ini sering bergeser. Banyak pasangan muda lebih dulu “bercerai di hati” sebelum menghadap pengadilan. Agama hanya menjadi latar seremoni, hukum hanya menjadi formalitas. Padahal, keduanya sejatinya ditujukan untuk melindungi, bukan mempersulit keutuhan rumah tangga.

Ketika Media Sosial Jadi Saksi dan Hakim

Perceraian zaman dulu adalah urusan bilik rumah tangga, tapi kini ia berubah menjadi tontonan publik. Media sosial memberi ruang bagi setiap luka untuk dipertontonkan, bahkan dijustifikasi. Suami yang berselisih dengan istri tak lagi mendatangi tokoh agama atau keluarga, tetapi menulis curahan hati di story WhatsApp. Istri yang kecewa tak lagi menunduk menahan air mata, tetapi membuka kanal TikTok dengan tagar #toxicmarriage.

Fenomena ini bukan sekadar soal gaya hidup digital, tetapi pergeseran nilai privat ke ruang publik. Konflik yang seharusnya diselesaikan dengan tabayyun (klarifikasi) justru meluas menjadi perdebatan viral yang mempermalukan dua keluarga besar.

Ambil contoh kasus viral di Jawa Timur tahun lalu, ketika seorang istri menggugat cerai suaminya setelah rekaman perselingkuhan tersebar di media sosial. Tak hanya rumah tangga yang retak, tetapi juga karier, reputasi, bahkan hubungan sosial di kampung halaman ikut terpecah. Media sosial menjadi hakim tanpa toga, publik menjadi juri tanpa empati.

Dimensi Ekonomi dan Ketimpangan Gender

Kita tak bisa menutup mata bahwa banyak perceraian di Indonesia disulut oleh faktor ekonomi. Mengacu pada informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, sekitar 47% perceraian disebabkan oleh masalah ekonomi, diikuti oleh perselisihan terus-menerus (42%), dan ketidakharmonisan akibat media sosial serta perselingkuhan (8–10%).

Namun, data ini perlu dibaca dengan hati-hati: jarang sekali perceraian disebabkan oleh satu faktor tunggal. Sebagian besar kasus melibatkan gabungan antara tekanan ekonomi, komunikasi yang buruk, dan kelelahan emosional. Penelitian dari UIN Sunan Kalijaga (2022) menemukan bahwa 70% pasangan yang bercerai mengaku alasan utama mereka bukan ekonomi semata, melainkan “masalah yang menumpuk tanpa penyelesaian.”

Di Belitung Timur, misalnya, seorang ibu dua anak memilih menggugat cerai karena suaminya tak lagi memberi nafkah setelah terkena PHK. Tapi dalam wawancara lanjutan, terungkap bahwa masalah sudah lama mengendap: komunikasi yang dingin, kehadiran pihak ketiga, dan tekanan keluarga besar. Ekonomi hanyalah pemicu terakhir dari api yang telah lama menyala.

Masalahnya, perceraian tak sekadar urusan “putus hubungan,” tetapi juga “putus perlindungan.” Banyak perempuan yang menggugat cerai justru menghadapi beban ganda, menjadi pencari nafkah sekaligus pengasuh tunggal. Negara memang memberi ruang hukum, tetapi belum sepenuhnya hadir memberi perlindungan sosial pascaperceraian.

Antara Gengsi dan Ketidaksiapan Mental

Fenomena lain yang tak kalah mencemaskan adalah menikah karena tekanan sosial dan bercerai karena ekspektasi palsu. Banyak pasangan muda yang menikah karena gengsi, kejar-kejaran dengan usia, atau tuntutan keluarga. Padahal, mereka belum selesai berdamai dengan diri sendiri.

Dalam psikologi keluarga, ketidaksiapan emosional seringkali menjadi bom waktu. Ketika badai kecil datang, entah ekonomi, komunikasi, atau kehadiran pihak ketiga, pondasi yang rapuh mudah roboh.

Agama sudah memberi panduan : “Ada empat hal yang sering menjadi alasan seseorang menikahi perempuan harta, keturunan, paras, dan agama. Namun, yang utama adalah memilih karena agamanya, maka engkau akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tapi dalam praktik modern, yang sering terjadi justru sebaliknya: menikah karena penampilan, lalu berpisah karena perbedaan prinsip.

Dari Medan Gugatan ke Medan Refleksi: Data Bertemu Nurani

Judul tulisan ini, “Ketika Rumah Tangga Jadi Medan Gugatan,” sejatinya bukan sekadar metafora hukum, tetapi juga pernyataan sosiologis. Riset dari Mahkamah Agung dan BPS menunjukkan bahwa perceraian meningkat bukan hanya karena pelanggaran hukum agama, tetapi karena kegagalan sosial mengelola tekanan hidup. Rumah tangga menjadi “medan gugatan” karena banyak nilai dan peran yang saling menuntut, tanpa ruang penyembuhan.

Faktor ekonomi menekan, media sosial memprovokasi, keluarga besar ikut campur, sementara bimbingan spiritual sering datang terlambat. Hasil penelitian Amato & Previti (2003) bahkan menegaskan bahwa perceraian adalah “produk interaksi antara faktor struktural, psikologis, dan kultural.” Artinya, setiap perceraian adalah simpul dari banyak sebab, bukan sekadar satu kesalahan personal.

Dengan demikian, pesan moral dalam opini ini memperoleh landasan ilmiah yang kuat: antara sakralitas agama dan ketegasan hukum, masih ada ruang kosong yang bernama kematangan emosional dan sosial.

Solusi: Mengembalikan Rumah sebagai Ruang Peradaban

Solusi terhadap meningkatnya perceraian tak bisa hanya mengandalkan pengadilan agama atau undang-undang. Ia harus dimulai dari edukasi pranikah yang substansial. Negara dan lembaga keagamaan perlu berkolaborasi menyusun kurikulum bimbingan pernikahan yang tidak hanya mengajarkan tata cara akad, tetapi juga psikologi komunikasi, manajemen keuangan, serta etika digital dalam rumah tangga.

Selain itu, bimbingan pasca-nikah juga penting karena perjalanan sesungguhnya baru dimulai setelah akad selesai. Tokoh agama, lembaga sosial, dan pemerintah daerah bisa memainkan peran lebih aktif dalam memberikan pendampingan dan ruang mediasi yang aman, terutama bagi pasangan muda.

Penelitian Kementerian Agama (2022) menunjukkan bahwa bimbingan pranikah yang komprehensif mampu menurunkan risiko perceraian hingga 30%. Artinya, solusi ini bukan sekadar idealisme moral, melainkan langkah realistis berbasis data.

Penutup: Antara Cinta, Tanggung Jawab, dan Keberanian Bertahan

Perceraian memang bukan dosa, tapi ia selalu meninggalkan luka. Ia bukan akhir dunia, tapi seharusnya juga bukan pilihan pertama. Baik agama maupun negara tidak pernah melarang seseorang memperjuangkan kebahagiaan, tetapi keduanya mengingatkan: kebahagiaan sejati tak lahir dari pelarian, melainkan dari perjuangan yang matang.

Di tengah dunia yang serba cepat dan rapuh ini, mungkin sudah saatnya kita mengembalikan makna “rumah” sebagai tempat kembali, bukan tempat pergi. Sebab, sebagaimana kata seorang bijak:

“Cinta yang sejati bukan tentang menemukan orang yang sempurna, tetapi tentang belajar mencintai dengan cara yang sempurna.”

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Picture of Dipublikasikan Oleh :

Dipublikasikan Oleh :

Humas Kemenag Belitung Timur

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Belitung Timur

Komplek Perkantoran Terpadu Manggarawan
Jl. Raya Manggar Gantung - Belitung Timur

© Kantor Kementerian Agama Kabupaten Belitung Timur - 2025 All Rights Reserved.